Petral, yang kala itu diyakini menjadi sarang praktik mafia migas, dibubarkan setelah Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai Faisal Basri merekomendasikan langkah tersebut. Menurut laporan Kompas.id (15/11/2019), pembubaran Petral berhasil menghemat 30-40 sen dollar AS per barel dari minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) yang diimpor. Namun, praktik korupsi di sektor migas ternyata belum benar-benar hilang.
Pada September 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bambang Irianto, mantan Direktur Utama PT Pertamina Energy Trading Limited, sebagai tersangka. Bambang diduga menerima suap sebesar 2,9 juta dollar AS (Rp 40,75 miliar) dari Kernel Oil terkait perdagangan produk kilang dan minyak mentah. Suap tersebut diduga diterima melalui rekening SIAM Group Holding, perusahaan yang didirikan Bambang dan berkedudukan di Kepulauan Virgin, Britania Raya.
Namun, praktik mafia migas tidak berhenti di situ. Nama pengusaha migas Muhammad Riza Chalid kerap muncul dalam berbagai skandal migas, meski ia selalu lolos dari jerat hukum. Salah satu kasus yang menyeret namanya adalah impor minyak jenis Zatapi oleh Petral pada 2008. Saat itu, Petral membeli 600 barel minyak seharga 54 juta dollar AS (Rp 524 miliar) melalui perusahaan Global Resources Energy dan Gold Manor, yang diduga terkait dengan Riza.
Alvin Lie, anggota Komisi VII DPR kala itu, mengungkapkan, “Berdasarkan data minyak mentah di pasar, kemungkinan besar Zatapi merupakan campuran minyak mentah Sudan Dar Blend dengan minyak mentah Malaysia. Harga Zatapi disamakan harga Tapis, yaitu sekitar 100 dollar AS per barel, sementara harga sebenarnya Dar Blend sekitar 70 dollar AS” (Kompas, 24 Maret 2008). Meski sempat disidik oleh Polri, kasus ini dihentikan pada Februari 2010 karena Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak menemukan kerugian negara.
Nama Riza Chalid kembali mencuat pada 2015 dalam skandal "papa minta saham". Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melaporkan pertemuan antara Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, Ketua DPR Setya Novanto, dan Riza Chalid. Pertemuan itu diduga terkait perpanjangan kontrak Freeport Indonesia dengan iming-iming pembagian saham. Namun, penyidikan kasus ini dihentikan karena Riza tidak dapat dihadirkan untuk dimintai keterangan (Kompas, 16 Januari 2016).
Kini, nama Riza Chalid kembali menjadi sorotan setelah anaknya, Muhammad Kerry Andrianto Riza, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi minyak mentah Pertamina periode 2018-2023. Kejagung menggerebek kediaman Riza di Jakarta Selatan dan menyita 34 box ordner berisi dokumen, uang tunai Rp 883 juta, 1.500 dollar AS, serta dua CPU. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menjelaskan, “Kejagung menggeledah rumah Riza karena rumah tersebut dijadikan kantor oleh tiga tersangka dari kalangan pengusaha, termasuk anaknya.”
Kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp 193,7 triliun, terdiri dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri (Rp 35 triliun), impor minyak mentah melalui broker (Rp 2,7 triliun), kompensasi 2023 (Rp 126 triliun), dan subsidi 2023 (Rp 21 triliun). Selain itu, ditemukan praktik pembelian BBM RON 92 yang ternyata adalah campuran RON 88 dan RON 90.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai bahwa pembubaran Petral pada 2015 belum sepenuhnya memberantas mafia migas. “Pembubaran Petral itu bagian dari pengikisan mafia migas. Jika masih tetap ada, itu artinya mafia itu ada di dalam Pertamina itu sendiri,” ujarnya (Minggu, 2/3/2025).
Kasus ini menjadi tantangan besar bagi Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), yang akan mengelola aset BUMN termasuk Pertamina. Transparansi dan pengawasan ketat diperlukan untuk mencegah terulangnya praktik korupsi serupa di masa depan. “Ini menjadi tantangan bagi holding baru Danantara. Apakah akan berlaku sama? Kita lihat nanti,” kata Fickar.
Skandal ini bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap tata kelola migas di Indonesia. Pertanyaan besar kini menggantung: akankah praktik mafia migas benar-benar bisa diakhiri, atau hanya akan terus berganti bentuk dan pelaku?