Membangun Kemandirian Energi Nasional, Akankah Indonesia Berhenti Bergantung pada Impor Minyak?

Setelah terungkapnya dugaan korupsi tata kelola minyak mentah oleh Kejaksaan Agung, mekanisme penyediaan komoditas energi ini menjadi sorotan utama. Kasus yang merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas pengadaan minyak dalam negeri.

Kasus dugaan korupsi di Pertamina yang melibatkan mekanisme penyediaan minyak mentah menjadi isu penting yang menyita perhatian publik. Investigasi Kejaksaan Agung membuka tabir kelam praktik kongkalikong antara subholding Pertamina dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Lebih dari sekadar kasus hukum, ini adalah persoalan kebijakan yang merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun dan sekaligus memperlihatkan betapa krusialnya reformasi di sektor energi, khususnya terkait minyak mentah.

Indonesia, sebagai negara kaya sumber daya energi, seharusnya mampu mengandalkan pasokan minyak mentah domestik. Namun, kenyataannya, kilang minyak kita masih bergantung pada impor minyak mentah dari luar negeri. Ini bukan sekadar masalah teknis pengolahan minyak mentah, tetapi juga terkait dengan kebijakan yang kurang efektif dalam memaksimalkan potensi sumber daya dalam negeri.

Pertamina, sebagai salah satu aktor utama dalam industri minyak nasional, sebenarnya diwajibkan untuk memprioritaskan minyak bumi dari dalam negeri sebelum melakukan impor. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 18 Tahun 2021, KKKS juga diwajibkan menawarkan minyak mentah mereka ke Pertamina sebelum mengekspornya. Sayangnya, hasil penyelidikan menunjukkan praktik tidak transparan di mana pejabat Pertamina menolak penawaran tersebut dengan alasan kualitas minyak tidak sesuai kapasitas kilang. Padahal, kualitas minyak mentah dalam negeri sebenarnya telah memenuhi standar.

Fakta ini menyoroti dua persoalan utama: ketidakmampuan kilang dalam negeri mengolah minyak mentah Indonesia dan ketergantungan yang tinggi terhadap impor. Jika terus dibiarkan, situasi ini hanya akan memperburuk beban anggaran subsidi BBM yang sudah membengkak, serta memperparah ketergantungan Indonesia terhadap minyak luar negeri. Dari sudut pandang ekonomi, kebijakan ini jelas merugikan karena kita membayar lebih mahal untuk minyak impor, padahal kita bisa memaksimalkan minyak lokal.

Seharusnya, pemerintah dan Pertamina bisa berkolaborasi lebih baik dalam meningkatkan kapasitas kilang minyak dalam negeri, terutama untuk mengolah minyak dengan kadar sulfur rendah seperti yang diproduksi Indonesia. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam lingkaran setan impor minyak yang memperbesar defisit energi dan ekonomi nasional.

Lebih jauh lagi, reformasi tata kelola minyak sangat diperlukan agar kita tidak terus menerus dirugikan oleh praktik korupsi yang mempermainkan harga dan pasokan minyak. Transparansi dalam setiap tahap pengadaan hingga distribusi minyak menjadi kunci untuk memperbaiki tata kelola sektor energi.

Selain itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan pembangunan kilang minyak baru berjalan lebih cepat. Kapasitas kilang minyak yang memadai akan memungkinkan Indonesia mengolah minyak mentah dalam negeri tanpa harus bergantung pada impor. Proyek pengembangan kilang melalui Refinery Development Master Plan harus diprioritaskan dan diawasi secara ketat untuk menghindari keterlambatan yang bisa merugikan negara dalam jangka panjang.

Kejadian ini juga menyadarkan kita bahwa ketergantungan Indonesia pada subsidi BBM sudah terlalu lama dibiarkan. Subsidi BBM, meski bertujuan membantu masyarakat, sering kali justru menjadi beban bagi keuangan negara. Jika tidak ada reformasi yang mendasar dalam kebijakan energi, terutama dalam pengadaan minyak mentah, defisit ini akan terus menguras anggaran pemerintah dan menghambat pembangunan sektor lain yang lebih produktif.

Untuk mencegah kasus serupa di masa depan, perlu ada audit berkala oleh lembaga independen terhadap tata kelola energi nasional. Audit ini harus mencakup seluruh proses mulai dari penawaran minyak oleh KKKS hingga kebijakan impor yang dilakukan Pertamina. Dengan audit yang transparan dan akuntabel, diharapkan praktik-praktik yang merugikan negara bisa ditekan dan dicegah.

Tak kalah penting, pembangunan kilang minyak yang mampu mengolah minyak mentah dengan berbagai spesifikasi harus dipercepat. Jika tidak, kita hanya akan terus menerus tersandera oleh impor minyak yang mahal dan tidak efisien. Dengan kilang yang memadai, bukan hanya ketergantungan terhadap impor yang bisa ditekan, tetapi juga cadangan minyak nasional dapat ditingkatkan untuk memastikan ketahanan energi jangka panjang.

Di masa depan, Indonesia harus berani mengambil langkah yang lebih strategis untuk mandiri dalam sektor energi. Kemandirian energi bukan hanya soal memiliki sumber daya, tetapi juga soal bagaimana mengelola, memproduksi, dan mendistribusikan energi tersebut secara efisien dan transparan. Dengan reformasi yang tepat, kita bisa mengurangi beban subsidi, memperkuat cadangan energi, dan memastikan bahwa setiap tetes minyak yang kita miliki benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa. 

Previous Post Next Post

ads

ads

نموذج الاتصال