Pakar kebijakan luar negeri Saudi, Umer Karim, menyebut pertemuan ini sebagai "paling penting" dalam beberapa dekade terakhir sehubungan dengan dunia Arab dan masalah Palestina. "Pertemuan ini bukan sekadar diskusi, tetapi langkah strategis untuk menolak rencana Trump yang bisa berdampak luas pada stabilitas kawasan," ujar Karim seperti dilansir AFP, Kamis (20/2/2025).
Presiden Trump sebelumnya memicu kemarahan internasional dengan mengumumkan rencana AS untuk mengambil alih Gaza dan memindahkan 2,4 juta warga Palestina yang tinggal di sana ke negara-negara tetangga, seperti Mesir dan Yordania. Rencana ini mendapat tentangan keras dari berbagai pihak, termasuk Raja Yordania Abdullah II yang menegaskan penolakannya dalam pertemuan dengan Trump di Gedung Putih pada 11 Februari lalu.
Seorang sumber yang dekat dengan pemerintah Saudi menyatakan bahwa para pemimpin Arab akan fokus membahas "rencana rekonstruksi untuk menangkal rencana Trump bagi Gaza." Sumber ini juga menambahkan bahwa "rencana versi Mesir," yang disinggung oleh Raja Abdullah II, akan menjadi salah satu topik utama pembicaraan.
Pertemuan ini dihadiri oleh para pemimpin dari Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, Qatar, Yordania, serta enam negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCO) dan Otoritas Palestina. Bagi warga Palestina, ancaman pemindahan paksa ini mengingatkan pada "Nakba" tahun 1948, ketika ratusan ribu warga Palestina terpaksa meninggalkan tanah air mereka akibat konflik pendirian Israel.
Rekonstruksi Gaza yang rusak parah akibat perang Hamas-Israel juga akan menjadi isu penting dalam pertemuan ini. Trump sebelumnya menyoroti bahwa rekonstruksi Gaza menjadi alasan utama untuk memindahkan penduduk Gaza sementara proses pembangunan kembali dilakukan.