Gencatan Senjata Israel-Hamas Dimulai, Tapi Kejahatan Kemanusiaan Tak Boleh Dimaafkan!

Gaza

Gencatan senjata antara milisi Hamas dari Palestina dan Israel di Jalur Gaza secara resmi diberlakukan pada Minggu (19/1). Kedua belah pihak sepakat memulai gencatan senjata pada pukul 08.30 pagi waktu setempat.

"Sesuai koordinasi para pihak dalam perjanjian dan mediator, gencatan senjata di Jalur Gaza akan dimulai pada pukul 8:30 pagi [13.30 WIB] pada hari Minggu, 19 Januari waktu setempat di Gaza," jelas pemerintah Qatar dalam pernyataannya.

Qatar merupakan salah satu negara mediator dalam perjanjian gencatan senjata ini, bersama Amerika Serikat dan Mesir.

Kesepakatan ini dicapai setelah melalui negosiasi yang cukup intensif sejak Rabu (15/1). Pemerintah Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu juga menyetujui perjanjian tersebut melalui pemungutan suara di kabinet pada Jumat (17/1).

Dalam voting tersebut, sebanyak 24 menteri mendukung gencatan senjata, sementara delapan menteri, yang sebagian besar berasal dari kelompok konservatif termasuk Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, menolak perjanjian tersebut.

Gencatan senjata ini terbagi dalam tiga tahap. Tahap pertama akan berlangsung selama 42 hari, mencakup pertukaran sandera antara Hamas dan Palestina, penghentian serangan, serta pengiriman lebih banyak bantuan kemanusiaan ke Gaza.

Tahap kedua rencananya akan dibahas mulai hari ke-16 gencatan senjata. Tujuan utamanya adalah mencapai penghentian perang dan mengupayakan gencatan senjata permanen.

Pada tahap ini, para sandera yang masih hidup akan dibebaskan. Sebagai gantinya, ratusan tahanan Palestina yang ditahan di Israel akan dibebaskan. Tahap ini juga mencakup penarikan penuh pasukan Israel dari wilayah Gaza.

Tahap ketiga akan mencakup pemulangan jenazah dan sisa tubuh para sandera serta pelaksanaan rencana rekonstruksi Gaza.

Sebanyak 33 sandera di Gaza diperkirakan akan dibebaskan oleh Hamas pada hari pertama gencatan senjata. Mereka termasuk warga negara asing.

Di sisi lain, pemerintah Israel menyatakan telah menyetujui pembebasan 737 tahanan Palestina serta 1.167 warga Gaza yang ditangkap selama serangan di wilayah tersebut.

Namun, data dari Kantor Media Tahanan di Gaza berbeda. Menurut kantor tersebut, Israel akan membebaskan 1.737 tahanan, termasuk 120 perempuan dan anak-anak.

Selain itu, hampir 300 warga Palestina yang menjalani hukuman seumur hidup juga akan dibebaskan.

Hingga kini, belum ada kejelasan mengapa terdapat perbedaan data antara kedua belah pihak terkait jumlah tahanan yang akan dibebaskan.

Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, mengingatkan bahwa meskipun gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Palestina telah disepakati, hal ini bukanlah alasan untuk memaafkan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel terhadap warga Gaza. Kejahatan tersebut telah diputuskan oleh International Court of Justice (ICJ) dan International Criminal Court (ICC).

"Sambil kita menyambut baik gencatan senjata itu, tapi juga mengingatkan soal keputusan-keputusan ICJ dan ICC atas kejahatan-kejahatan Israel yang tetap harus dilaksanakan, tidak malah dilupakan atau dimaafkan. Karena gencatan senjata yang ditandatangani oleh Israel dan Hamas (Palestina) serta negara-negara mediator memang bukan untuk melupakan keputusan-keputusan ICC dan ICJ," tegas Hidayat di Jakarta, Minggu.

Ia juga meminta agar pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, lebih proaktif bersama PBB dan negara-negara mediator seperti Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat, untuk memastikan bahwa gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari 2024 ini bisa dipatuhi dan tidak dilanggar oleh Israel.

"Indonesia juga perlu ikut pro aktif mengawal gencatan senjata itu agar ditaati dan dilaksanakan semua butirnya, dengan melibatkan negara-negara sahabat di PBB, OKI, negara-negara mediator dan organisasi-organisasi internasional lainnya. Ini sangat perlu dilakukan agar genosida dan kejahatan kemanusiaan di Gaza oleh Israel dapat segera dihentikan, dan penjahatnya dikenakan sanksi hukum sebagaimana keputusan ICC dan ICJ," tambahnya.

Hidayat menekankan pentingnya pengawasan terhadap perjanjian gencatan senjata ini, terutama karena Israel memiliki sejarah pelanggaran perjanjian, seperti yang terjadi pada November 2024 dengan Lebanon, di mana Israel tetap melakukan serangan meski perjanjian telah disepakati.

Ia juga mendorong agar pemerintah Indonesia memperkuat komunikasi dengan anggota PBB dan negara-negara mediator seperti Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat, guna memastikan kepatuhan Israel terhadap kesepakatan tersebut. Hidayat juga menyoroti dukungan dari Presiden Joe Biden dan Presiden terpilih Donald Trump dalam upaya pelaksanaan gencatan senjata ini.

"Oleh karena itu, apabila Israel kembali membangkang dengan melanggar perjanjian gencatan senjata itu, maka selain jelas menunjukkan perlawanan terhadap keputusan/policy Amerika Serikat dan arus besar warga dunia yang menyambut baik gencatan senjata, maka seharusnya Israel diberikan sanksi hukum dengan pengucilan Israel dari keanggotaan lembaga-lembaga internasional termasuk dari keanggotaannya di PBB maupun IPU," tegas Hidayat.

Meskipun Israel telah memulai penarikan pasukan, tanda-tanda pelanggaran perjanjian masih terlihat. Israel dilaporkan tetap melakukan serangan yang menewaskan 73 warga Gaza, termasuk anak-anak dan perempuan, setelah perjanjian gencatan senjata ditandatangani. Hamas mengonfirmasi bahwa pihaknya tetap mematuhi butir-butir perjanjian tersebut.

"Saya sepakat dan setuju dengan sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang secara terbuka mengutuk keras tindakan kejahatan Israel sesudah ditandatanganinya gencatan senjata tersebut. Semoga pada 19 Januari besok, setelah gencatan senjata itu resmi berlaku, tidak ada lagi pelanggaran atas kesepakatan tersebut," ujarnya.

Hidayat menegaskan bahwa pemerintah Indonesia harus terus mendukung negara-negara di PBB dalam menegakkan keputusan ICC dan ICJ, serta menuntut Israel atas kejahatan genosida, apartheid, dan kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukannya.

Ia menekankan bahwa gencatan senjata bukan berarti melupakan kejahatan yang dilakukan Israel dan para pemimpinnya. Proses hukum di ICJ dan ICC terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant harus tetap berjalan.

“Hendaknya itu terus dilaksanakan sebagai komitmen penegakan keadilan dan hukum internasional serta menyelamatkan marwah organisasi dan peradilan internasional, seperti PBB, ICJ dan ICC dan peradaban global," tutupnya. Hidayat juga menegaskan pentingnya Indonesia untuk terus berada di garis depan dalam penegakan keadilan sesuai dengan amanat UUD 1945.

Previous Post Next Post

ads

ads

نموذج الاتصال