Gus Miftah, Etika Komunikasi, dan Makna Dakwah yang Sesungguhnya

video viral gus miftah

Oleh Mas Bento
Pemerhati Politik dan Pemerintahan

Baru-baru ini, nama Gus Miftah kembali menjadi perbincangan setelah beredarnya video yang memperlihatkan dirinya melontarkan komentar yang dianggap merendahkan seorang pedagang es teh dalam sebuah pengajian. Rekaman itu memicu gelombang kritik di media sosial, mempertanyakan sikap seorang pendakwah yang seharusnya menjadi teladan dalam berbicara dan bertindak.

Dakwah pada dasarnya adalah penyampaian pesan-pesan agama dengan cara yang baik dan bijaksana. Rasulullah ﷺ telah memberikan contoh bagaimana berdakwah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, bahkan kepada mereka yang memusuhinya. Oleh karena itu, ketika seorang pendakwah menggunakan bahasa yang dinilai kasar atau tidak pantas, hal tersebut secara langsung mencederai nilai-nilai dakwah yang ia bawa.

Dalam kasus Gus Miftah, publik tidak hanya mempersoalkan isi dari pernyataannya tetapi juga sikap yang dianggap tidak berempati. Pedagang es teh yang menjadi sasaran olokan adalah seseorang yang sedang berjuang mencari nafkah dengan cara yang halal. Mengapa seseorang yang posisinya lebih berkuasa merasa perlu merendahkan orang lain di hadapan banyak orang? Pertanyaan ini terus bergema di media sosial, mendorong banyak pihak untuk menyuarakan keprihatinan mereka.

Kejadian ini menyadarkan kita akan pentingnya etika komunikasi, terutama bagi tokoh publik yang memiliki pengaruh besar. Dalam situasi seperti ini, sebuah permintaan maaf yang tulus dapat menjadi langkah pertama untuk memperbaiki hubungan dengan masyarakat dan memulihkan kepercayaan. Namun, permintaan maaf saja tidak cukup. Ada tanggung jawab lebih besar untuk merefleksikan tindakan dan belajar dari kesalahan, agar peristiwa serupa tidak terulang.

Gus Miftah sebenarnya dikenal sebagai pendakwah yang sering menyampaikan pesan-pesan agama dengan gaya yang segar dan humoris. Namun, humor dalam dakwah memiliki batasan. Ketika candaan atau pernyataan mulai menyentuh ranah penghinaan, pesan dakwah itu sendiri kehilangan maknanya. Alih-alih menyatukan, tindakan seperti itu justru berpotensi memecah belah.

Bagi masyarakat, kasus ini juga menjadi pengingat untuk tidak terlalu mengidolakan manusia, termasuk tokoh agama. Setiap individu, tanpa terkecuali, memiliki kelemahan. Apa yang terjadi pada Gus Miftah dapat menjadi pelajaran bagi kita semua tentang pentingnya menjaga ucapan dan tindakan, terutama dalam situasi publik.

Kejadian ini seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak untuk merenungkan kembali esensi dakwah. Dakwah tidak semata-mata tentang menyampaikan ajaran, tetapi juga tentang menjadi contoh nyata dari nilai-nilai kebaikan yang diajarkan. Gus Miftah, sebagai tokoh yang dihormati, masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan menunjukkan bahwa ia mampu belajar dari kritik. Masyarakat, pada akhirnya, juga siap memaafkan selama ada kesungguhan untuk berubah.

Perjalanan dakwah adalah perjalanan panjang. Semoga setiap langkah yang diambil, termasuk yang pernah salah arah, dapat menjadi pelajaran berharga bagi Gus Miftah dan kita semua.

Previous Post Next Post

ads

ads

نموذج الاتصال