Guru: "Buruh" Pendidikan Yang Terabaikan

hari guru

Oleh Mas Bento
Pemerhati Politik dan Pemerintahan

Peran Guru dan Dosen dalam Pendidikan Nasional

Guru dan dosen memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, tahukah Anda bahwa profesi ini memiliki aturan hukum yang khusus? Regulasi yang mengatur guru dan dosen tertuang dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang juga didukung oleh Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Peraturan ini secara spesifik dirancang untuk menjamin hak-hak dan tanggung jawab para pendidik dalam pendidikan formal.

Namun, tak berhenti di situ. Sebagai individu yang bekerja untuk memperoleh penghasilan, guru juga tunduk pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini karena, dalam definisinya, pekerja/buruh adalah siapa saja yang bekerja dan menerima upah. Jadi, meskipun sudah ada peraturan khusus, regulasi ketenagakerjaan tetap relevan, terutama bagi guru yang bekerja di sekolah swasta.

Ketika Dua Aturan Bertemu: Lex Specialis Derogat Legi Generalis

Dalam hukum, dikenal asas lex specialis derogat legi generalis, yang berarti aturan khusus mengesampingkan aturan umum. Dalam konteks ini, jika ada perbedaan antara peraturan ketenagakerjaan dengan peraturan guru, maka aturan yang lebih khusus, yaitu Peraturan Guru, akan berlaku. Namun, asas ini hanya berlaku jika kedua aturan memiliki tingkat hukum yang setara dan berada dalam ranah hukum yang sama.

Sebagai contoh, guru di sekolah formal harus mengikuti aturan Peraturan Guru, tetapi aspek lain, seperti hak atas pengupahan dan kesejahteraan, tetap dapat merujuk pada ketentuan ketenagakerjaan.

Guru di Sekolah Pemerintah vs. Sekolah Swasta

Regulasi yang mengatur guru berbeda tergantung tempat mereka bekerja. Berikut perinciannya:

Guru di Sekolah Pemerintah

Guru yang bekerja di sekolah yang dikelola pemerintah biasanya merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mereka tunduk pada aturan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1974, yang telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam kasus ini, peraturan ketenagakerjaan tidak berlaku karena mereka berada di bawah kerangka hukum kepegawaian pemerintah.

Guru di Sekolah Swasta

Sebaliknya, guru di sekolah swasta bekerja dalam sistem yang berbeda. Mereka dianggap sebagai pekerja yang diatur oleh UU Ketenagakerjaan. Sekolah swasta, sebagai pemberi kerja, wajib memberikan hak-hak yang sama seperti perusahaan pada umumnya, termasuk pembayaran upah, jaminan kesejahteraan sosial, dan perlindungan kerja.

Sekolah Swasta dan Peraturan Ketenagakerjaan

Tidak jarang, pengelola sekolah swasta menganggap lembaga mereka sebagai yayasan nirlaba yang tidak tunduk pada peraturan ketenagakerjaan. Namun, anggapan ini keliru. Menurut Pasal 1 angka 4 UU Ketenagakerjaan, pemberi kerja mencakup badan hukum atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan. Oleh karena itu, sekolah swasta yang mempekerjakan guru tetap harus mengikuti peraturan ketenagakerjaan, kecuali diatur secara eksplisit oleh Peraturan Guru.

Mengapa Pemahaman Regulasi Ini Penting?

Memahami perbedaan aturan ini sangat penting, baik untuk guru, pengelola sekolah, maupun masyarakat umum. Guru memiliki hak untuk memperoleh penghasilan yang layak dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di sisi lain, pengelola sekolah harus memastikan bahwa mereka menjalankan tanggung jawab hukum dengan benar, sesuai peraturan yang berlaku.

Profesi guru dan dosen adalah tulang punggung pendidikan di Indonesia. Dengan memahami regulasi yang mengatur mereka, diharapkan tidak ada lagi keraguan atau ketidakpastian hukum, baik dari pihak guru maupun institusi pendidikan tempat mereka bekerja. Pada akhirnya, ini bukan hanya soal kepatuhan terhadap hukum, tetapi juga bentuk penghargaan terhadap mereka yang berdedikasi mencerdaskan generasi penerus bangsa.

Guru Sebagai "Buruh" Pendidikan

Guru kerap disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa,” sebuah ungkapan yang diwariskan dari era Orde Baru. Namun, di balik penghormatan tersebut, frasa ini seringkali menjadi dalih untuk mengabaikan persoalan kesejahteraan tenaga pendidik. Guru, sebagai aktor kunci dalam dunia pendidikan, tidak jarang diposisikan lebih sebagai pelayan moral ketimbang pekerja yang berhak atas upah layak dan jaminan sosial.

Romantisme Era Orde Baru dan Pengerdilan Peran Guru

Di era Orde Baru, romantisme terhadap profesi guru dimanfaatkan untuk membangun narasi kesetiaan dan pengorbanan. Guru diwajibkan tunduk pada sistem birokrasi yang sarat dengan budaya militeristik. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang sebelumnya merupakan wadah perjuangan guru untuk memperbaiki kesejahteraan, dipaksa menjadi bagian dari mesin politik rezim. PGRI, sebagai satu-satunya organisasi resmi, diarahkan untuk mendukung Golongan Karya dan melaksanakan kebijakan pemerintah tanpa kritik.

Bandingkan dengan era sebelum Orde Baru, di mana PGRI berperan aktif dalam menyuarakan aspirasi guru terkait undang-undang perburuhan dan pendidikan. Salah satu kadernya, Rh. Koesnan, bahkan pernah menjabat sebagai Menteri Perburuhan dan Sosial dalam Kabinet Hatta. Peran ini menjadi bukti bahwa guru pernah memiliki pengaruh yang signifikan dalam ranah kebijakan publik.

Namun, semua berubah di bawah kekuasaan Soeharto. Guru menjadi alat propaganda, dan perjuangan mereka untuk kesejahteraan tersendat. Seiring jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, muncul harapan baru bagi para guru untuk merebut kembali independensi dan memperjuangkan hak-hak mereka.

Era Reformasi: Angin Segar yang Tertahan

Reformasi membawa sedikit harapan bagi perbaikan nasib guru. Pada Kongres PGRI ke-18 di Lembang, Jawa Barat, tahun 1998, guru mulai membahas isu-isu krusial seperti beban administratif, kesejahteraan yang minim, dan peran mereka yang sering kali hanya menjadi objek politik dan bisnis. Lobi yang dilakukan akhirnya membuahkan hasil dengan lahirnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini memberikan dasar hukum untuk kenaikan gaji, tunjangan, dan hak berserikat.

Namun, perbaikan ini tidak serta-merta menyelesaikan semua persoalan. Studi menunjukkan bahwa meskipun sertifikasi dan tunjangan mulai diterapkan, banyak guru masih merasa terbebani oleh sistem yang tidak berpihak. Kondisi guru honorer, guru tidak tetap, dan tenaga wiyata bakti menjadi salah satu contoh ketimpangan yang terus berlangsung.

Organisasi Guru di Era Baru: Suara yang Terpecah

Seiring dengan reformasi, guru mulai mendirikan organisasi baru di luar PGRI, seperti Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Organisasi-organisasi ini lahir dari ketidakpuasan terhadap PGRI yang dinilai kurang independen dan terlalu dekat dengan pemerintah. Di sisi lain, kemunculan organisasi ini menunjukkan keberagaman suara dan aspirasi di kalangan guru.

Namun, terpecahnya wadah perjuangan guru juga menciptakan tantangan baru. Perbedaan status guru, seperti honorer, tidak tetap, atau PNS, sering kali memperuncing jurang solidaritas di antara mereka. Kompetisi antarindividu untuk mendapatkan status yang lebih baik membuat perjuangan kolektif sering kali terabaikan.

Kendala Struktural dan Ekonomi Politik

Kesejahteraan guru tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi politik yang lebih luas. Studi menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh teknokrat yang bekerja atas nama efisiensi fiskal. Kebijakan ini sering kali didukung oleh lembaga donor dan konglomerasi, yang lebih peduli pada penyiapan tenaga kerja terampil dengan biaya murah daripada memperbaiki kesejahteraan guru.

Di tingkat lokal, praktik patronase tetap memainkan peran besar. Pengangkatan guru kontrak, misalnya, sering kali didasarkan pada hubungan kekerabatan atau kedekatan dengan kepala sekolah. Struktur ini membuat guru takut untuk bersuara, karena khawatir akan kehilangan pekerjaan atau kesempatan promosi. Dalam banyak kasus, senioritas lebih dihargai daripada kompetensi, sehingga potensi guru muda sering kali terabaikan.

Menguatkan Perjuangan Buruh Pendidikan

Meski tantangan besar masih menghadang, perjuangan guru sebagai buruh pendidikan tidaklah sepenuhnya tanpa harapan. Organisasi seperti FGII dan FSGI telah bekerja sama dengan lembaga seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) untuk mengadvokasi perubahan kebijakan. Namun, ini belum cukup. Guru perlu menyadari kerentanan posisi mereka sebagai buruh pendidikan dan membangun solidaritas lintas status.

Melibatkan orang tua siswa sebagai mitra dalam memperjuangkan hak-hak guru juga menjadi langkah penting. Sayangnya, komite sekolah dan dewan pendidikan sering kali didominasi oleh elite sekolah dan birokrasi lokal, sehingga peran orang tua sebagai pengawas kebijakan menjadi minim.

Menuju Solidaritas yang Kuat

Guru adalah buruh pendidikan yang berperan vital dalam menciptakan generasi penerus bangsa. Namun, mereka masih terjebak dalam sistem yang tidak adil, baik secara struktural maupun politik. Kesadaran kolektif di kalangan guru perlu dibangun untuk melawan fragmentasi yang merugikan perjuangan mereka.

Solidaritas yang kuat di antara guru, didukung oleh orang tua siswa dan masyarakat sipil, menjadi kunci untuk memastikan bahwa setiap guru, tanpa memandang status, mendapatkan hak yang sama. Perjuangan ini bukan hanya soal kesejahteraan individu, tetapi juga soal masa depan pendidikan Indonesia. Guru bukan sekadar pahlawan tanpa tanda jasa, mereka adalah buruh yang berhak atas penghargaan nyata dan kesejahteraan!

Dasar Hukum:

  • UU No. 8 Tahun 1974 jo. UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
  • UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  • UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
  • UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
  • PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru.

Previous Post Next Post

ads

ads

نموذج الاتصال